Rabu, 18 Oktober 2017
ROMO KH. CHUDORI TEGAL REJO ========================= KH. Chudlori merupakan seorang ulama yang berasal dari desa Tegalrejo.Ia bukan berasal dari keluarga kyai, tapi dari priyayi. Ayah Kyai Chudlori, adalah bapak Ihsan seorang penghulu di Tegalrejo dibawah pemerintahan Belanda. Kakeknya, Abdul Halim, juga seorang penghulu yang menangani administrasi urusan agama di daerah pedalaman kabupaten Magelang yang meliputi kecamatan Candimulyo, Mertoyudan, Mungkid dan Tegalrejo. Beliau adalah menantu dari KH.Dalhar pengasuh Pondok Pesantren ”Darus Salam” Watucongol Muntilan Magelang. KH. Chudlori mendirikan Pondok Pesantren di Tegalrejo pada tahun 1944. Pada mulanya pondok pesantren ini tanpa diberikan nama sebagaimana layaknya Pondok Pesantren yang lain. Baru setelah berkalai-kali beliau mendapatkan saran dan usulan dari rekan seperjuangannya pada tahun 1947 di tetapkanlah nama Asrama Perguruan Islam (API). Nama ini ditentukannya sendiri yang tentunya merupakan hasil dari sholat Istikharoh. Dengan lahirnya nama AsramaPerguruan Islam, beliau berharap agar para santrinya kelak di masyarakat mampu dan mau menjadi guru yang mengajarkan dan mengembangkan syariat-syariat Islam. Keluarga KH. Chudlori, menceritakan bahwa ketika KH. Chudlori belajar kepada Hadrotussyeh Hasyim ‘asy’ari di Tebu Ireng, ayahnya mengirim uang sebanyak Rp. 750,perbulan, tetapi Chudlori hanya menghabiskan Rp.150,- dan mengembalikan sisanya. KH. Chudlori hanya makan singkong dan minum air yang digunakan untuk merebus singkong tersebut. Dia melakukan ini dalam rangka riyadlah, amalan yang biasa dilakukan para santri. Di dalam kamarnya di Tebu Ireng, KH. Chudlori membuat kotak belajar khusus dari papan tipis dan menempatkan kotak tersebut diantara loteng dan atap. Kapan saja bila ingin menghafal atau memahami pelajarannya, KH. Chudlori naik dan duduk di atas kotak sehingga bisa berkonsentrasi dengan baik. Kotak ini sempit, tidak nyaman dan berbahaya untuk duduk. Dengan kedisiplinan beliau dapat belajar setiap hari hingga tengah malam. Kapan saja tertidur sebelum tengah malam, beliau menghukum dirinya sendiri dengan berpuasa pada hari berikutnya tanpa makan sahur. Setelah membaca kitab Imam Al-Ghazali, beliau berusaha dengan sungguh-sungguh mempraktekkan ajaran tasawuf. Kehidupan sehari-harinya penuh amalan tasawuf, termasuk berbagai macam bentuk puasa, salat tengah malam, membaca Al-Qur’an dan dzikir. Setelah dari Tebu Ireng beliau menimba ilmu di pondok pesantren Bendo dan diteruskan di pondok pesantren Lasem. KH. Chudlori menjalani uzlah di makam ‘keramat’ Batu Ampar, di Pulau Madura. Beliau menghabiskan waktu hampir dua tahun untuk menjalankan praktek mistik (riyadloh) di kuburan keramat ini. Kemudian pada tahun 1940 akhirnya KH. Chudlori mengakhiri status lajangnya dengan menikahi putri Kiai Dalhar pendiri pondok pesantren Watu Congol Magelang. Sebelum membuat keputusan yang terakhir, yaitu mendirikan sebuah pondok pesantren beliau melakukan mujahadah setiap malam Jum’at di makan keramat Raden Santri, yang terletak di puncak bukit Gunung Pring, agar memperoleh petunjuk spiritual dan restu Allah. Setelah melakukan mujahadah setiap minggu selama setahun, pada hari Jum’at dini hari, sekitar pukul 03.00 tahun 1943, ia merasa menerima petunjuk yang jelas bahwa keinginannya direstui Allah. Malam itu, ketika peziarah yang mengunjungi makam ‘keramat’ itu sudah pulang, Badan KH. Chudlori gemetar dan sekujur tubuhnya basah oleh keringat. Tapi hatinya tetap tenang. KH. Chudlori menafsirkan kejadian ini sebagai petunjuk Tuhan bahwa niatnya untuk mendirikan pesantren baru Tegalrejo direstui. Setelah disampaikan kepada Kiai Dalhar maka beliaupun merestui rencana tersebut. Pada tanggal 15 September 1944 KH. Chudlori kembali ke desanya, Tegalrejo dan pada hari itu juga pesantren Tegalrejo secara formal didirikan. Beberapa keluarga Muslim di desa sekitarnya mendengar kembalinya KH. Chudlori dan mengirimkan anak laki-laki mereka untuk menjadi santrinya. Pada awalnya ada 8 santri di Pesantren Tegalrejo. Seiring berjalannya waktu santri yang menimba ilmu di pondok pesantren API Tegalrejo hingga kini mencapai ribuan santri. Berkat ketegaran dan keuletan KH. Chudlori dalam upayanya mewujudkan Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam baik secara dhohir maupun batin. Santri yang pada awal berdirinya hanya berjumlah delapan, tiga tahun kemudian sudah mencapai sekitar 100-an. Prestasi ini jika di identikan dengan prestasi para pendiri pondok pesantren dalam era kemajuan ini, barang kali biasa-biasa saja. Akan tetapi kalau melihat situasi serta kondisi serta sistem sosial yang berlaku pada saat itu sungguh prestasi KH. Chudlori merupakan prestasi yang lebih. Aksi negatif masyarakat seputar setelah tiga tahun API berdiri semakin mereda, bahkan diantara mereka yang semula anti pati ada yang berbalik total menjadi simpati dan ikhlas menjadi pendukung setia dengan mengorbankan segala dana dan daya yang ada demi suksesnya perjuangan KH. Chudhori. Akan tetapi di luar dugaan dan perhitungan pada awal tahun 1948 secara mendadak API diserbu Belanda tepat pada “Kles II”. Gedung atau fisik API yang sudah ada pada waktu itu diporak porandakan. Sejumlah 36 kitab termasuk Kitab milik KH. Chudhori dibakar hangus, sementara santrisantri termasuk KH.Chudhori mengungsi kesuatu desa yang bernama Tejo kecamatan Candimulyo. Kegiatan taklim wa-taalum nyaris terhenti. Pada penghujung tahun 1949 dimana situasi nampak aman KH.Chudhori kembali mengadakan kegiatan taklim wa-taalum kepada masyarakat sekitar dan santripun mulai berdatangan terutama yang telah mendengar informasi bahwa situasi di Tegalrejo sudah normal kembali, sehingga KH.Chudhori mulai mendirikan kembali API lagi di temapt semula. Semenjak itulah API berkembang pesat seakan bebas dari hambatan, sehingga mulai tahun 1977 jumlah santri sudah mencapai sekitar 1500-an. Inilah puncak prestasi KH.Chudhori di dalam membawa API ke permukaan umat. Adalah merupakan suratan taqdir, dimana pada saat API sedang berkembang pesat dan melambung ke atas, KH.Chudhori dipanggil kerahmatullah (wafat), sehingga kegiatan taklim wataalum terpaksa diambil alih oleh putra sulungnya (KH. Abdurrohman Ch) dibantu oleh putra Keduanya (Bp. Achmad Muhammad Ch). Peristiwa yang mengaharukan ini terjadi pada penghujung tahun 1977. Sudah menjadi hal yang wajar bahwa apabila disuatu pondok pesantren terjadi pergantian pengasuh, grafik jumlah santri menurun. Demikina juga API pada awal periode KH. Abdurrohman Ch jumlah santri menurun drastis, sehingga pada tahun 1980 tinggal sekitar 760-an. Akan tetapi nampak keuletan dan kegigihan KH.Chudhori telah diwariskan kepada KH. Abdurrohman Ch, sehingga jumlah santri bisa kembali meningkat sampai pada tahun 1982 menurut catatan sekretaris mencapai 2698 santri. Disini perlu dimaklumi oleh pembaca bahwa dari awal berdirinya hingga sekarang, API hanya menerima santri putra. Meskipun usulan dan saran dari berbagai kalangan saling berdatangan, namun belum pernah terpikirkan secara serius untuk mendirikan pondok pesantren putri hingga sekarang. Hal ini dapat dimaklumi karena faktor sarana dan prasarananya kurang mendukung terutama persediaan air bersih dan tanah lokasi. Dan Baru ada Santri Putri pada tahun 2000an KH Abdurrahman Wahid. Mantan ketua Tanfidz PBNU dan Presiden RI, tercatat sebagai salah seorang alumni PP ini.
Jumat, 13 Oktober 2017
KRITIK
Nabi Pun Mau Dikritik
“Teman yang baik adalah seseorang yang kerap banyak mengingatkan ketika kita salah…”
Orang Indonesia jarang sekali berterimakasih jika ada yang mengkritiknya. Alih-alih berterimakasih, yang ada sang pengeritik akan balik diserang sebagai pihak yang usil, iri hati, sentimen atau tak bisa diajak bekerjasama. Pada era Orde Baru, kritik malah menuai penjara bahkan kematian. Seolah-olah kritik adalah prilaku yang tidak pantas dan layak hanya dilakukan oleh musuh negara.
Bisa jadi kebanyakan manusia Indonesia memandang kritik sebagai hinaan. Sebagai bangsa yang sangat mengagungkan “pencitraan” sepertinya kita lebih merasa nyaman hidup dengan pujian dan pujaan. Padahal puji dan puja, jika tak bijaksana menyikapinya, hanya akan menjadikan kita “jalan di tempat”. Itu masih untung, banyak orang yang panen pujian lupa, lantas “meluncur bebas” menuju keterpurukan kualitas sebagai manusia yang lebih banyak mengakomodasi “sang aku”.
Dalam sejarah perkembangan Islam, tradisi kritik bukanlah sesuatu yang asing. Suatu hari, saat bergerak menuju medan perang Badar, Rasulullah memutuskan kepada pasukannya untuk berkemah di kawasan sumur pertama yang mereka temui. Tak ada satupun dari para sahabat yang “berani” menolak perintah dari Rasulullah tersebut. Hingga seorang sahabat yang dikenal sebagai pakar strategi perang bernama Khabab bin Mundzir berdiri seraya berkata:
''Wahai Rasulullah, apakah penentuan posisi tersebut adalah wahyu dari Allah? Atau hanya berdasarkan strategi perang yang merupakan pendapat anda?”
''Oh bukan sama sekali ya Khabab. Tempat ini kupilih berdasarkan pendapatku semata,”jawab Rasulullah.
''Wahai Rasulullah, jika aku boleh memiliki pendapat, menurutku tempat ini tidak strategis. Sebaiknya kita pindah ke tempat air yang paling dekat dengan musuh. Kita membuat markas di sana dan menutup sumur-sumur yang ada di belakangnya. Kita buat lubang-lubang dekat perkemahan dan kita isi dengan air hingga penuh. Dengan demikian kita akan berperang dan mempunyai persediaan air yang cukup. Sedangkan musuh tidak mempunyai persediaan air minum,'' jelas Khabab.
Marahkah Rasulullah pendapatnya dibantah oleh salah seorang sahabatnya? Alih-alih murka dan memerintahkan “sahabat lancang” itu untuk menuruti perintahnya, setelah berpikir sejenak, seraya tersenyum senang Rasulullah malah berkata:
''Pendapatmu sungguh lebih baik dari pendapatku.'' Dan kemudian sejarah mencatat, strategi tersebut sangat ampuh dan menjadikan kaum Muslimin bisa memenangkan pertempuran atas orang-orang Quraisy Mekah.
Sikap legowo untuk dikritik pun pernah dicontohkan oleh Umar ibn Khattab. Seperti sering dikisahkan dalam berbagai riwayat tarikh Islam, khalifah kedua itu dikenal sebagai manusia yang sangat hati-hati dalam memutuskan suatu perkara, terutama terkait dengan hak-hak orang-orang miskin dan teraniaya. Alkisah, dalam suatu pidato di depan rakyatnya, Umar dengan lantang berseru: “Wahai sekalian manusia, barang siapa di antara kalian ada yang melihat aku melakukan suatu tindakan yang kalian anggap “bengkok”, hendaklah dia cepat meluruskan tindakanku”.
Belum kering mulut Sang Khalifah usai berkata, dari kerumunan orang banyak tersebut, tiba-tiba seorang Arab kampung yang berpakaian lusuh dan sederhana berdiri. Sambil mengacungkang sebilah pedang, ia lantas berteriak: “Demi Allah, wahai Ibnu Khattab! andaikata aku melihat ada sesuatu yang bengkok dari tindakanmu, pasti aku akan meluruskannya dengan pedangku ini!”
Semua terdiam mendengar teriakan lelaki tersebut: menduga-duga apa yang akan dilakukan oleh Umar terhadap seorang rakyat yang melakukan kritik keras terhadap perkataannya. “Segala Puji bagi Allah, yang telah menjadikan di antara kalian, orang yang akan meluruskan penyimpangan Umar ibn Khattab dengan pedangnya…”
Langganan:
Komentar (Atom)